Hepatitis

Hepatitis di Kala Pandemi COVID-19

04 August 2021

Tidak menggunakan barang pribadi secara bergantian dapat mencegah penularan virus Hepatitis.

Sejak masa pandemi COVID-19, kabar penyakit infeksi yang lain seperti hepatitis seperti luput dari perhatian. Penyakit hepatitis B dan C umumnya tanpa gejala. Jika tidak diobati segera, dalam kurun waktu 15 tahun hepatitis akan berkembang menjadi sirosis (pengerutan) hati, bahkan ada yang menjadi kanker hati.

Menurut Ketua Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia, Dr. dr Irsan Hasan, SpPD-KGEH FINASIM mengatakan bahwa kondisi pandemi COVID-19 tidak akan secara langsung meningkatkan angka kejadian Hepatitis  di Indonesia, meskipun demikian, kondisi pandemi akan berdampak pada pasien yang sudah terdiagnosis Hepatitis. Berdasarkan jurnal yang ditulis oleh Pley dkk tahun 2020, disebutkan bahwa adanya global pandemi menyebabkan akses pengobatan pada pasien hepatitis berkurang, hal tersebut disebabkan salah satunya adalah karena rasa takut pasien untuk berobat dan konsultasi dengan dokter ke rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya, sehingga penyakit hepatitis  yang diderita menjadi tidak terkontrol dengan baik padahal pemantaun penyakit hepatitis  penting untuk dilakukan agar penyakit  tidak menjadi lebih berat serta meminimalisasi timbulnya komplikasi seperti sirosis dan kanker hati.

Menjaga higienitas dan tidak menggunakan barang pribadi secara bergantian dapat mencegah penularan virus Hepatitis juga virus lain seperti SARS-CoV-2. Penularan infeksi dapat terjadi melalui beberapa kegiatan berikut ini :

  • Berhubungan seksual dengan penderita hepatitis
  • Pemakaian jarum suntik atau alat injeksi lainnya secara bergantian
  • Teknik melakukan tattoo yang tidak aman
  • Pemakaian barang-barang personal seperti alat cukur dan sikat gigi
  • Ibu dengan infeksi hepatitis B dapat  menularkan virus kepada bayi saat persalinan

 

Hingga saat ini belum ada obat yang spesifik untuk Hepatitis B namun infeksi ini dapat dihindari dengan melakukan vaksinasi. Untuk individu yang belum melakukan vaksinasi dan jika memiliki keluarga yang terinfeksi hepatitis B, maka dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan HBsAg dan Anti-Hbc IgM untuk mengetahui adanya infeksi akut. Untuk individu yang sudah melakukan vaksin Hepatitis B maka dianjurkan secara berkala melakukan pemeriksaan Anti-HBs untuk mengetahui jumlah antibodi  terhadap hepatitis B sebagai perlindungan dari infeksi. Sedangkan untuk individu yang sudah terdiagnosis Hepatitis B maka dapat dilakukan pemeriksaan HBV DNA secara berkala untuk mengontrol jumlah virus yang ada di dalam tubuh dan aktivitas penyakit hepatitis.

Tidak seperti hepatitis B, hepatitis C sampai saat ini belum tersedia vaksinnya, sehingga pencegahan dapat dilakukan dengan pemeriksaan skrining secara teratur. Pemeriksaan skrining untuk mengetahui adanya infeksi hepatitis C adalah dengan pemeriksaan Anti-HCV, jika hasil reaktif maka dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan HCV RNA untuk mengetahui jumlah virus di dalam tubuh. Selain sebagai pennjang diagnosis, pemeriksaan HCV RNA juga dapat dilakukan untuk pemantauan penyakit dan jumlah virus selama pengobatan hepatitis berlangsung.

Selain disebabkan oleh infeksi virus, hepatitis juga dapat disebabkan oleh adanya perlemakan hati atau dikenal dengan istilah Non-Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) atau perlemakan hati non alkoholik. Perlemakan hati umumnya disebabkan oleh tubuh yang memproduksi lemak dalam jumlah yang berlebihan. Akibatnya, terjadi penumpukan lemak pada jaringan hati. Penumpukan lemak tersebut dapat disebabkan oleh  konsumsi makanan dengan kalori berlebih, kolesterol yang tinggi, maupun obesitas. Hingga saat ini belum ada biomarker tunggal yang dapat mendeteksi adanya perlemakan hati secara khusus, namun dapat dilakukan beberapa pemeriksaan yang terkait dengan risiko perlemakan hati seperti trigliserida, kolesterol total, kolesterol HDL dan kolesterol LDL.